Senin, 01 Juli 2013
MAKNA HAJI 3
~ MELATIH JIWA BERKORBAN ~
Pelajaran tertinggi di dalam amalan Islam adalah berkorban dalam kebajikan. Itulah yang menjadi inti ibadah haji. Niatnya berlandaskan keikhlasan. Menjalankannya dalam bingkai ketaatan. Perjuangannya mesti penuh kesabaran. Dan jika terjepit, sandarannya adalah bertawakal kepada Allah semata.
Seluruh sifat akhlaqul karimah itu jika dilebur menjadi satu akan menghasilkan puncak kualitas seorang muslim yang disebut sebagai berserah diri alias aslam. Dan kemudian, terlihat hubungan eratnya dengan nama agama ini: Islam. Allah menceritakan hal ini dalam sebuah ayat yang mengaitkan akhlak mulia tersebut dengan Nabi Ibrahim yang menjadi kesayangan-Nya.
QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah? Sementara, dia juga banyak berbuat kebajikan. Dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah pun mengambil Ibrahim sebagai kesayanganNya.
Jadi menurut ayat di atas, kriteria tertinggi dalam berislam adalah ketika seseorang bisa mempraktekkan ‘aslama wajhahu lillah – berserah diri kepada Allah’. Keberserahdirian itu tidak boleh dibiarkan hanya berada di wilayah internal belaka, melainkan harus segera diikuti dengan ‘wahuwa mukhsin – dan dia suka berbuat kebajikan’. Yang secara operasional dijelaskan lebih jauh dalam kalimat berikutnya: ‘wataba’a millata ibrahima hanifa - dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.’ Hasilnya, akan menjadikan ia disayang Allah sebagaimana Ibrahim menjadi khalilullah – kesayangan Allah.
Lantas, apakah inti pelajaran agama Ibrahim itu? Yakni, mempraktekkan jiwa berkorban untuk sesama. Itulah sebabnya, Hari Raya Idul Adha ini selain disebut sebagai Hari Raya Haji, juga disebut sebagai Hari Raya Kurban. Sebuah simbol yang sangat lugas dari puncak kualitas keislaman seseorang. Bukan hanya bersifat fisikal, seperti berkurban ternak untuk memberi makanan bergizi kepada orang-orang miskin. Melainkan lebih substansial dari itu, untuk meng-exercise atau melatih ketakwaan kita kepada Allah agar memperoleh sifat yang lebih sempurna: berserah diri hanya kepada-Nya. Itulah yang diajarkan dalam ayat berikut ini, bahwa substansi kurban itu bukan pada dagingnya melainkan pada ketulusan niatnya.
QS. Al Hajj (22): 37
Tidak akan sampai kepada Allah daging (kurban itu) dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.
Maka menjadi jelaslah parameter kesuksesan bagi seseorang yang berhaji. Bahwa mereka yang sudah pulang dari tanah suci harus memiliki sifat berkorban yang lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya mengorbankan binatang ternak, melainkan yang lebih substansial adalah mengorbankan segala karunia Allah yang telah dimilikinya di jalan kebajikan. Mulai dari harta benda, ilmu pengetahuan, amanat kekuasaan, sampai kepentingan diri sendiri dengan segala yang dicintainya.
Bagaimana cara mengukur kualitas berkorban kita itu sudah baik atau belum? Ada empat parameter yang mesti dikenakan, yaitu: niat yang ikhlas, berbingkai ketaatan, sabar dalam menjalankan, dan tawakal kepada Allah ketika proses itu menemui hambatan.Tentang keikhlasan, Allah mengajarkan sebagai berikut ini.
QS. Al Insaan (76): 8-9
Dan mereka memberikan MAKANAN yang DISUKAINYA kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan RIDHA ALLAH, kami tidak menghendaki BALASAN dari kamu dan BUKAN pula (ucapan) TERIMA KASIH.
Atau, lebih substansial lagi, sebagaimana yang diajarkan dalam dalam QS. 28: 77 ~ wa ahsin kama ahsanallahu ilaika – dan berbuat baiklah (kepada siapa pun) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Sebuah pelajaran yang sangat mendalam, bahwa berbuat baik itu semata-mata karena kita mensyukuri begitu banyak kebaikan yang telah Allah karuniakan kepada kita. Tak ada pamrih lain. Jika kita sudah bisa berbuat ikhlas seperti ini, maka pengorbanan yang kita lakukan itu sudah on the right track – di atas jalan yang benar.
Jika niatan sudah benar, maka sempurnakanlah dengan ketaatan. Ketaatan adalah tindak lanjut dari keikhlasan. Keikhlasan baru berada di wilayah niat, sedangkan ketaatan sudah berada di wilayah perbuatan. Ada kesungguhan dalam menjalankan pengorbanan. Bukan asal-asalan, melainkan ingin memberikan yang terbaik. Termasuk, memberikan apa yang kita cintai, bukan apa yang tidak kita sukai kepada orang lain. Begitulah Allah menyindir kita.
QS. Al Baqarah (2): 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu YANG BAIK-BAIK dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan JANGAN kamu memilih yang BURUK-BURUK lalu kamu menafkahkannya. Padahal KAMU sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan MEMICINGKAN MATA terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Dan jika kemudian pengorbanan itu terasa berat, maka bersabarlah. Karena yang namanya berkorban memang sudah seharusnya terasa berat. Kalau tidak berat, itu namanya belum berkorban. Justru disinilah exercise-nya. Minimal setiap tahun kita diminta oleh Allah untuk meningkatkan kualitas pengorbanan kita di Hari Raya Kurban. Syukur-syukur sudah bisa berkorban setiap saat demi kebajikan dan kemaslahatan umat.
QS. Al Mudatstsir (74): 6-7
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu itu BERSABARLAH.
Akhirnya, jika kesabaran sudah mencapai puncaknya dan hambatan masih menghadang, itu artinya Allah sedang memberikan ujian tertingginya. Satu-satunya jalan hanya bertawakal, bersandar kepada-Nya. Insya Allah Dia akan membukakan jalan. Itulah yang disebut sebagai ‘Ilmu Pedang Ibrahim’: pertolongan Allah selalu datang kepada orang yang bertawakal, ketika pedang sudah menempel di leher..! Umat Islam pantang menyerah. Jangan belum apa-apa sudah give up. Karena kualitas kita di hadapan Allah adalah seiring dengan kualitas ketawakalan kita dalam memperjuangkan kebajikan...
QS. At Taubah (9): 51
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal."
MAKNA HAJI 1
~ MELATIH JIWA BERKORBAN ~
Pelajaran tertinggi di dalam amalan Islam adalah berkorban dalam kebajikan. Itulah yang menjadi inti ibadah haji. Niatnya berlandaskan keikhlasan. Menjalankannya dalam bingkai ketaatan. Perjuangannya mesti penuh kesabaran. Dan jika terjepit, sandarannya adalah bertawakal kepada Allah semata.
Seluruh sifat akhlaqul karimah itu jika dilebur menjadi satu akan menghasilkan puncak kualitas seorang muslim yang disebut sebagai berserah diri alias aslam. Dan kemudian, terlihat hubungan eratnya dengan nama agama ini: Islam. Allah menceritakan hal ini dalam sebuah ayat yang mengaitkan akhlak mulia tersebut dengan Nabi Ibrahim yang menjadi kesayangan-Nya.
QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah? Sementara, dia juga banyak berbuat kebajikan. Dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah pun mengambil Ibrahim sebagai kesayanganNya.
Jadi menurut ayat di atas, kriteria tertinggi dalam berislam adalah ketika seseorang bisa mempraktekkan ‘aslama wajhahu lillah – berserah diri kepada Allah’. Keberserahdirian itu tidak boleh dibiarkan hanya berada di wilayah internal belaka, melainkan harus segera diikuti dengan ‘wahuwa mukhsin – dan dia suka berbuat kebajikan’. Yang secara operasional dijelaskan lebih jauh dalam kalimat berikutnya: ‘wataba’a millata ibrahima hanifa - dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.’ Hasilnya, akan menjadikan ia disayang Allah sebagaimana Ibrahim menjadi khalilullah – kesayangan Allah.
Lantas, apakah inti pelajaran agama Ibrahim itu? Yakni, mempraktekkan jiwa berkorban untuk sesama. Itulah sebabnya, Hari Raya Idul Adha ini selain disebut sebagai Hari Raya Haji, juga disebut sebagai Hari Raya Kurban. Sebuah simbol yang sangat lugas dari puncak kualitas keislaman seseorang. Bukan hanya bersifat fisikal, seperti berkurban ternak untuk memberi makanan bergizi kepada orang-orang miskin. Melainkan lebih substansial dari itu, untuk meng-exercise atau melatih ketakwaan kita kepada Allah agar memperoleh sifat yang lebih sempurna: berserah diri hanya kepada-Nya. Itulah yang diajarkan dalam ayat berikut ini, bahwa substansi kurban itu bukan pada dagingnya melainkan pada ketulusan niatnya.
QS. Al Hajj (22): 37
Tidak akan sampai kepada Allah daging (kurban itu) dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.
Maka menjadi jelaslah parameter kesuksesan bagi seseorang yang berhaji. Bahwa mereka yang sudah pulang dari tanah suci harus memiliki sifat berkorban yang lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya mengorbankan binatang ternak, melainkan yang lebih substansial adalah mengorbankan segala karunia Allah yang telah dimilikinya di jalan kebajikan. Mulai dari harta benda, ilmu pengetahuan, amanat kekuasaan, sampai kepentingan diri sendiri dengan segala yang dicintainya.
Bagaimana cara mengukur kualitas berkorban kita itu sudah baik atau belum? Ada empat parameter yang mesti dikenakan, yaitu: niat yang ikhlas, berbingkai ketaatan, sabar dalam menjalankan, dan tawakal kepada Allah ketika proses itu menemui hambatan.Tentang keikhlasan, Allah mengajarkan sebagai berikut ini.
QS. Al Insaan (76): 8-9
Dan mereka memberikan MAKANAN yang DISUKAINYA kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan RIDHA ALLAH, kami tidak menghendaki BALASAN dari kamu dan BUKAN pula (ucapan) TERIMA KASIH.
Atau, lebih substansial lagi, sebagaimana yang diajarkan dalam dalam QS. 28: 77 ~ wa ahsin kama ahsanallahu ilaika – dan berbuat baiklah (kepada siapa pun) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Sebuah pelajaran yang sangat mendalam, bahwa berbuat baik itu semata-mata karena kita mensyukuri begitu banyak kebaikan yang telah Allah karuniakan kepada kita. Tak ada pamrih lain. Jika kita sudah bisa berbuat ikhlas seperti ini, maka pengorbanan yang kita lakukan itu sudah on the right track – di atas jalan yang benar.
Jika niatan sudah benar, maka sempurnakanlah dengan ketaatan. Ketaatan adalah tindak lanjut dari keikhlasan. Keikhlasan baru berada di wilayah niat, sedangkan ketaatan sudah berada di wilayah perbuatan. Ada kesungguhan dalam menjalankan pengorbanan. Bukan asal-asalan, melainkan ingin memberikan yang terbaik. Termasuk, memberikan apa yang kita cintai, bukan apa yang tidak kita sukai kepada orang lain. Begitulah Allah menyindir kita.
QS. Al Baqarah (2): 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu YANG BAIK-BAIK dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan JANGAN kamu memilih yang BURUK-BURUK lalu kamu menafkahkannya. Padahal KAMU sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan MEMICINGKAN MATA terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Dan jika kemudian pengorbanan itu terasa berat, maka bersabarlah. Karena yang namanya berkorban memang sudah seharusnya terasa berat. Kalau tidak berat, itu namanya belum berkorban. Justru disinilah exercise-nya. Minimal setiap tahun kita diminta oleh Allah untuk meningkatkan kualitas pengorbanan kita di Hari Raya Kurban. Syukur-syukur sudah bisa berkorban setiap saat demi kebajikan dan kemaslahatan umat.
QS. Al Mudatstsir (74): 6-7
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu itu BERSABARLAH.
Akhirnya, jika kesabaran sudah mencapai puncaknya dan hambatan masih menghadang, itu artinya Allah sedang memberikan ujian tertingginya. Satu-satunya jalan hanya bertawakal, bersandar kepada-Nya. Insya Allah Dia akan membukakan jalan. Itulah yang disebut sebagai ‘Ilmu Pedang Ibrahim’: pertolongan Allah selalu datang kepada orang yang bertawakal, ketika pedang sudah menempel di leher..! Umat Islam pantang menyerah. Jangan belum apa-apa sudah give up. Karena kualitas kita di hadapan Allah adalah seiring dengan kualitas ketawakalan kita dalam memperjuangkan kebajikan...
QS. At Taubah (9): 51
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal."
Pelajaran tertinggi di dalam amalan Islam adalah berkorban dalam kebajikan. Itulah yang menjadi inti ibadah haji. Niatnya berlandaskan keikhlasan. Menjalankannya dalam bingkai ketaatan. Perjuangannya mesti penuh kesabaran. Dan jika terjepit, sandarannya adalah bertawakal kepada Allah semata.
Seluruh sifat akhlaqul karimah itu jika dilebur menjadi satu akan menghasilkan puncak kualitas seorang muslim yang disebut sebagai berserah diri alias aslam. Dan kemudian, terlihat hubungan eratnya dengan nama agama ini: Islam. Allah menceritakan hal ini dalam sebuah ayat yang mengaitkan akhlak mulia tersebut dengan Nabi Ibrahim yang menjadi kesayangan-Nya.
QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah? Sementara, dia juga banyak berbuat kebajikan. Dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah pun mengambil Ibrahim sebagai kesayanganNya.
Jadi menurut ayat di atas, kriteria tertinggi dalam berislam adalah ketika seseorang bisa mempraktekkan ‘aslama wajhahu lillah – berserah diri kepada Allah’. Keberserahdirian itu tidak boleh dibiarkan hanya berada di wilayah internal belaka, melainkan harus segera diikuti dengan ‘wahuwa mukhsin – dan dia suka berbuat kebajikan’. Yang secara operasional dijelaskan lebih jauh dalam kalimat berikutnya: ‘wataba’a millata ibrahima hanifa - dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.’ Hasilnya, akan menjadikan ia disayang Allah sebagaimana Ibrahim menjadi khalilullah – kesayangan Allah.
Lantas, apakah inti pelajaran agama Ibrahim itu? Yakni, mempraktekkan jiwa berkorban untuk sesama. Itulah sebabnya, Hari Raya Idul Adha ini selain disebut sebagai Hari Raya Haji, juga disebut sebagai Hari Raya Kurban. Sebuah simbol yang sangat lugas dari puncak kualitas keislaman seseorang. Bukan hanya bersifat fisikal, seperti berkurban ternak untuk memberi makanan bergizi kepada orang-orang miskin. Melainkan lebih substansial dari itu, untuk meng-exercise atau melatih ketakwaan kita kepada Allah agar memperoleh sifat yang lebih sempurna: berserah diri hanya kepada-Nya. Itulah yang diajarkan dalam ayat berikut ini, bahwa substansi kurban itu bukan pada dagingnya melainkan pada ketulusan niatnya.
QS. Al Hajj (22): 37
Tidak akan sampai kepada Allah daging (kurban itu) dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.
Maka menjadi jelaslah parameter kesuksesan bagi seseorang yang berhaji. Bahwa mereka yang sudah pulang dari tanah suci harus memiliki sifat berkorban yang lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya mengorbankan binatang ternak, melainkan yang lebih substansial adalah mengorbankan segala karunia Allah yang telah dimilikinya di jalan kebajikan. Mulai dari harta benda, ilmu pengetahuan, amanat kekuasaan, sampai kepentingan diri sendiri dengan segala yang dicintainya.
Bagaimana cara mengukur kualitas berkorban kita itu sudah baik atau belum? Ada empat parameter yang mesti dikenakan, yaitu: niat yang ikhlas, berbingkai ketaatan, sabar dalam menjalankan, dan tawakal kepada Allah ketika proses itu menemui hambatan.Tentang keikhlasan, Allah mengajarkan sebagai berikut ini.
QS. Al Insaan (76): 8-9
Dan mereka memberikan MAKANAN yang DISUKAINYA kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan RIDHA ALLAH, kami tidak menghendaki BALASAN dari kamu dan BUKAN pula (ucapan) TERIMA KASIH.
Atau, lebih substansial lagi, sebagaimana yang diajarkan dalam dalam QS. 28: 77 ~ wa ahsin kama ahsanallahu ilaika – dan berbuat baiklah (kepada siapa pun) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Sebuah pelajaran yang sangat mendalam, bahwa berbuat baik itu semata-mata karena kita mensyukuri begitu banyak kebaikan yang telah Allah karuniakan kepada kita. Tak ada pamrih lain. Jika kita sudah bisa berbuat ikhlas seperti ini, maka pengorbanan yang kita lakukan itu sudah on the right track – di atas jalan yang benar.
Jika niatan sudah benar, maka sempurnakanlah dengan ketaatan. Ketaatan adalah tindak lanjut dari keikhlasan. Keikhlasan baru berada di wilayah niat, sedangkan ketaatan sudah berada di wilayah perbuatan. Ada kesungguhan dalam menjalankan pengorbanan. Bukan asal-asalan, melainkan ingin memberikan yang terbaik. Termasuk, memberikan apa yang kita cintai, bukan apa yang tidak kita sukai kepada orang lain. Begitulah Allah menyindir kita.
QS. Al Baqarah (2): 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu YANG BAIK-BAIK dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan JANGAN kamu memilih yang BURUK-BURUK lalu kamu menafkahkannya. Padahal KAMU sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan MEMICINGKAN MATA terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Dan jika kemudian pengorbanan itu terasa berat, maka bersabarlah. Karena yang namanya berkorban memang sudah seharusnya terasa berat. Kalau tidak berat, itu namanya belum berkorban. Justru disinilah exercise-nya. Minimal setiap tahun kita diminta oleh Allah untuk meningkatkan kualitas pengorbanan kita di Hari Raya Kurban. Syukur-syukur sudah bisa berkorban setiap saat demi kebajikan dan kemaslahatan umat.
QS. Al Mudatstsir (74): 6-7
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu itu BERSABARLAH.
Akhirnya, jika kesabaran sudah mencapai puncaknya dan hambatan masih menghadang, itu artinya Allah sedang memberikan ujian tertingginya. Satu-satunya jalan hanya bertawakal, bersandar kepada-Nya. Insya Allah Dia akan membukakan jalan. Itulah yang disebut sebagai ‘Ilmu Pedang Ibrahim’: pertolongan Allah selalu datang kepada orang yang bertawakal, ketika pedang sudah menempel di leher..! Umat Islam pantang menyerah. Jangan belum apa-apa sudah give up. Karena kualitas kita di hadapan Allah adalah seiring dengan kualitas ketawakalan kita dalam memperjuangkan kebajikan...
QS. At Taubah (9): 51
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal."
MAKNA HAJI 2
~ MELATIH JIWA BERKORBAN ~
Pelajaran tertinggi di dalam amalan Islam adalah berkorban dalam kebajikan. Itulah yang menjadi inti ibadah haji. Niatnya berlandaskan keikhlasan. Menjalankannya dalam bingkai ketaatan. Perjuangannya mesti penuh kesabaran. Dan jika terjepit, sandarannya adalah bertawakal kepada Allah semata.
Seluruh sifat akhlaqul karimah itu jika dilebur menjadi satu akan menghasilkan puncak kualitas seorang muslim yang disebut sebagai berserah diri alias aslam. Dan kemudian, terlihat hubungan eratnya dengan nama agama ini: Islam. Allah menceritakan hal ini dalam sebuah ayat yang mengaitkan akhlak mulia tersebut dengan Nabi Ibrahim yang menjadi kesayangan-Nya.
QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah? Sementara, dia juga banyak berbuat kebajikan. Dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah pun mengambil Ibrahim sebagai kesayanganNya.
Jadi menurut ayat di atas, kriteria tertinggi dalam berislam adalah ketika seseorang bisa mempraktekkan ‘aslama wajhahu lillah – berserah diri kepada Allah’. Keberserahdirian itu tidak boleh dibiarkan hanya berada di wilayah internal belaka, melainkan harus segera diikuti dengan ‘wahuwa mukhsin – dan dia suka berbuat kebajikan’. Yang secara operasional dijelaskan lebih jauh dalam kalimat berikutnya: ‘wataba’a millata ibrahima hanifa - dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.’ Hasilnya, akan menjadikan ia disayang Allah sebagaimana Ibrahim menjadi khalilullah – kesayangan Allah.
Lantas, apakah inti pelajaran agama Ibrahim itu? Yakni, mempraktekkan jiwa berkorban untuk sesama. Itulah sebabnya, Hari Raya Idul Adha ini selain disebut sebagai Hari Raya Haji, juga disebut sebagai Hari Raya Kurban. Sebuah simbol yang sangat lugas dari puncak kualitas keislaman seseorang. Bukan hanya bersifat fisikal, seperti berkurban ternak untuk memberi makanan bergizi kepada orang-orang miskin. Melainkan lebih substansial dari itu, untuk meng-exercise atau melatih ketakwaan kita kepada Allah agar memperoleh sifat yang lebih sempurna: berserah diri hanya kepada-Nya. Itulah yang diajarkan dalam ayat berikut ini, bahwa substansi kurban itu bukan pada dagingnya melainkan pada ketulusan niatnya.
QS. Al Hajj (22): 37
Tidak akan sampai kepada Allah daging (kurban itu) dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.
Maka menjadi jelaslah parameter kesuksesan bagi seseorang yang berhaji. Bahwa mereka yang sudah pulang dari tanah suci harus memiliki sifat berkorban yang lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya mengorbankan binatang ternak, melainkan yang lebih substansial adalah mengorbankan segala karunia Allah yang telah dimilikinya di jalan kebajikan. Mulai dari harta benda, ilmu pengetahuan, amanat kekuasaan, sampai kepentingan diri sendiri dengan segala yang dicintainya.
Bagaimana cara mengukur kualitas berkorban kita itu sudah baik atau belum? Ada empat parameter yang mesti dikenakan, yaitu: niat yang ikhlas, berbingkai ketaatan, sabar dalam menjalankan, dan tawakal kepada Allah ketika proses itu menemui hambatan.Tentang keikhlasan, Allah mengajarkan sebagai berikut ini.
QS. Al Insaan (76): 8-9
Dan mereka memberikan MAKANAN yang DISUKAINYA kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan RIDHA ALLAH, kami tidak menghendaki BALASAN dari kamu dan BUKAN pula (ucapan) TERIMA KASIH.
Atau, lebih substansial lagi, sebagaimana yang diajarkan dalam dalam QS. 28: 77 ~ wa ahsin kama ahsanallahu ilaika – dan berbuat baiklah (kepada siapa pun) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Sebuah pelajaran yang sangat mendalam, bahwa berbuat baik itu semata-mata karena kita mensyukuri begitu banyak kebaikan yang telah Allah karuniakan kepada kita. Tak ada pamrih lain. Jika kita sudah bisa berbuat ikhlas seperti ini, maka pengorbanan yang kita lakukan itu sudah on the right track – di atas jalan yang benar.
Jika niatan sudah benar, maka sempurnakanlah dengan ketaatan. Ketaatan adalah tindak lanjut dari keikhlasan. Keikhlasan baru berada di wilayah niat, sedangkan ketaatan sudah berada di wilayah perbuatan. Ada kesungguhan dalam menjalankan pengorbanan. Bukan asal-asalan, melainkan ingin memberikan yang terbaik. Termasuk, memberikan apa yang kita cintai, bukan apa yang tidak kita sukai kepada orang lain. Begitulah Allah menyindir kita.
QS. Al Baqarah (2): 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu YANG BAIK-BAIK dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan JANGAN kamu memilih yang BURUK-BURUK lalu kamu menafkahkannya. Padahal KAMU sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan MEMICINGKAN MATA terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Dan jika kemudian pengorbanan itu terasa berat, maka bersabarlah. Karena yang namanya berkorban memang sudah seharusnya terasa berat. Kalau tidak berat, itu namanya belum berkorban. Justru disinilah exercise-nya. Minimal setiap tahun kita diminta oleh Allah untuk meningkatkan kualitas pengorbanan kita di Hari Raya Kurban. Syukur-syukur sudah bisa berkorban setiap saat demi kebajikan dan kemaslahatan umat.
QS. Al Mudatstsir (74): 6-7
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu itu BERSABARLAH.
Akhirnya, jika kesabaran sudah mencapai puncaknya dan hambatan masih menghadang, itu artinya Allah sedang memberikan ujian tertingginya. Satu-satunya jalan hanya bertawakal, bersandar kepada-Nya. Insya Allah Dia akan membukakan jalan. Itulah yang disebut sebagai ‘Ilmu Pedang Ibrahim’: pertolongan Allah selalu datang kepada orang yang bertawakal, ketika pedang sudah menempel di leher..! Umat Islam pantang menyerah. Jangan belum apa-apa sudah give up. Karena kualitas kita di hadapan Allah adalah seiring dengan kualitas ketawakalan kita dalam memperjuangkan kebajikan...
QS. At Taubah (9): 51
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal."
Pelajaran tertinggi di dalam amalan Islam adalah berkorban dalam kebajikan. Itulah yang menjadi inti ibadah haji. Niatnya berlandaskan keikhlasan. Menjalankannya dalam bingkai ketaatan. Perjuangannya mesti penuh kesabaran. Dan jika terjepit, sandarannya adalah bertawakal kepada Allah semata.
Seluruh sifat akhlaqul karimah itu jika dilebur menjadi satu akan menghasilkan puncak kualitas seorang muslim yang disebut sebagai berserah diri alias aslam. Dan kemudian, terlihat hubungan eratnya dengan nama agama ini: Islam. Allah menceritakan hal ini dalam sebuah ayat yang mengaitkan akhlak mulia tersebut dengan Nabi Ibrahim yang menjadi kesayangan-Nya.
QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah? Sementara, dia juga banyak berbuat kebajikan. Dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah pun mengambil Ibrahim sebagai kesayanganNya.
Jadi menurut ayat di atas, kriteria tertinggi dalam berislam adalah ketika seseorang bisa mempraktekkan ‘aslama wajhahu lillah – berserah diri kepada Allah’. Keberserahdirian itu tidak boleh dibiarkan hanya berada di wilayah internal belaka, melainkan harus segera diikuti dengan ‘wahuwa mukhsin – dan dia suka berbuat kebajikan’. Yang secara operasional dijelaskan lebih jauh dalam kalimat berikutnya: ‘wataba’a millata ibrahima hanifa - dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.’ Hasilnya, akan menjadikan ia disayang Allah sebagaimana Ibrahim menjadi khalilullah – kesayangan Allah.
Lantas, apakah inti pelajaran agama Ibrahim itu? Yakni, mempraktekkan jiwa berkorban untuk sesama. Itulah sebabnya, Hari Raya Idul Adha ini selain disebut sebagai Hari Raya Haji, juga disebut sebagai Hari Raya Kurban. Sebuah simbol yang sangat lugas dari puncak kualitas keislaman seseorang. Bukan hanya bersifat fisikal, seperti berkurban ternak untuk memberi makanan bergizi kepada orang-orang miskin. Melainkan lebih substansial dari itu, untuk meng-exercise atau melatih ketakwaan kita kepada Allah agar memperoleh sifat yang lebih sempurna: berserah diri hanya kepada-Nya. Itulah yang diajarkan dalam ayat berikut ini, bahwa substansi kurban itu bukan pada dagingnya melainkan pada ketulusan niatnya.
QS. Al Hajj (22): 37
Tidak akan sampai kepada Allah daging (kurban itu) dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.
Maka menjadi jelaslah parameter kesuksesan bagi seseorang yang berhaji. Bahwa mereka yang sudah pulang dari tanah suci harus memiliki sifat berkorban yang lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya mengorbankan binatang ternak, melainkan yang lebih substansial adalah mengorbankan segala karunia Allah yang telah dimilikinya di jalan kebajikan. Mulai dari harta benda, ilmu pengetahuan, amanat kekuasaan, sampai kepentingan diri sendiri dengan segala yang dicintainya.
Bagaimana cara mengukur kualitas berkorban kita itu sudah baik atau belum? Ada empat parameter yang mesti dikenakan, yaitu: niat yang ikhlas, berbingkai ketaatan, sabar dalam menjalankan, dan tawakal kepada Allah ketika proses itu menemui hambatan.Tentang keikhlasan, Allah mengajarkan sebagai berikut ini.
QS. Al Insaan (76): 8-9
Dan mereka memberikan MAKANAN yang DISUKAINYA kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan RIDHA ALLAH, kami tidak menghendaki BALASAN dari kamu dan BUKAN pula (ucapan) TERIMA KASIH.
Atau, lebih substansial lagi, sebagaimana yang diajarkan dalam dalam QS. 28: 77 ~ wa ahsin kama ahsanallahu ilaika – dan berbuat baiklah (kepada siapa pun) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Sebuah pelajaran yang sangat mendalam, bahwa berbuat baik itu semata-mata karena kita mensyukuri begitu banyak kebaikan yang telah Allah karuniakan kepada kita. Tak ada pamrih lain. Jika kita sudah bisa berbuat ikhlas seperti ini, maka pengorbanan yang kita lakukan itu sudah on the right track – di atas jalan yang benar.
Jika niatan sudah benar, maka sempurnakanlah dengan ketaatan. Ketaatan adalah tindak lanjut dari keikhlasan. Keikhlasan baru berada di wilayah niat, sedangkan ketaatan sudah berada di wilayah perbuatan. Ada kesungguhan dalam menjalankan pengorbanan. Bukan asal-asalan, melainkan ingin memberikan yang terbaik. Termasuk, memberikan apa yang kita cintai, bukan apa yang tidak kita sukai kepada orang lain. Begitulah Allah menyindir kita.
QS. Al Baqarah (2): 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu YANG BAIK-BAIK dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan JANGAN kamu memilih yang BURUK-BURUK lalu kamu menafkahkannya. Padahal KAMU sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan MEMICINGKAN MATA terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Dan jika kemudian pengorbanan itu terasa berat, maka bersabarlah. Karena yang namanya berkorban memang sudah seharusnya terasa berat. Kalau tidak berat, itu namanya belum berkorban. Justru disinilah exercise-nya. Minimal setiap tahun kita diminta oleh Allah untuk meningkatkan kualitas pengorbanan kita di Hari Raya Kurban. Syukur-syukur sudah bisa berkorban setiap saat demi kebajikan dan kemaslahatan umat.
QS. Al Mudatstsir (74): 6-7
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu itu BERSABARLAH.
Akhirnya, jika kesabaran sudah mencapai puncaknya dan hambatan masih menghadang, itu artinya Allah sedang memberikan ujian tertingginya. Satu-satunya jalan hanya bertawakal, bersandar kepada-Nya. Insya Allah Dia akan membukakan jalan. Itulah yang disebut sebagai ‘Ilmu Pedang Ibrahim’: pertolongan Allah selalu datang kepada orang yang bertawakal, ketika pedang sudah menempel di leher..! Umat Islam pantang menyerah. Jangan belum apa-apa sudah give up. Karena kualitas kita di hadapan Allah adalah seiring dengan kualitas ketawakalan kita dalam memperjuangkan kebajikan...
QS. At Taubah (9): 51
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal."
MAKNA TAWAF
~
TAWAF, BERPUTAR-PUTAR DI ‘ARSY ALLAH ~
Seorang
ibu setengah baya bertawaf mengelilingi kakbah sambil menangis terisak-isak.
Wajahnya terlihat kalut, matanya nanar, dan mulutnya berkomat-kamit menyebut
nama Allah berulang-ulang. Tak ada kalimat lain yang terucap selain: Astaghfirullah, dan ya Allah.. ya Allah..!
Wajahnya sering menengadah ke langit, dan tangannya gemetaran mengusap air mata
yang berderai-derai membasahi wajahnya yang mulai keriput.
Sang
ibu sedang melakukan Tawaf Ifadoh, yakni ritual mengitari baitullah sebanyak
tujuh kali seusai melakukan lempar jumrah di Mina. Ini pula yang sedang
dilakukan jamaah haji di hari-hari Tasyrik sekarang ini. Ibu yang berangkat
haji seorang diri di tahun 2000 itu adalah jamaah satu rombongan dengan saya.
Keesokan harinya, ia curhat kepada saya tentang ritual Tawaf Ifadoh yang
menggetarkan seluruh sendi-sendi jiwanya itu.
Kebetulan,
setiap pagi kamar saya memang dijadikan tempat berkumpul jamaah haji dalam
rombongan kami untuk berbagi hikmah. Pagi itu kami memperoleh hikmah luar biasa
yang terjadi pada sang Ibu. Dengan masih berurai air mata ia menceritakan
pengalaman Tawaf Ifadohnya kepada kami. Bahwa, kemarin saat bertawaf itu
hatinya benar-benar takut dan gelisah. Sampai-sampai semalaman ia tidak bisa
tidur karenanya.
‘’Pak
Agus, saya takut ibadah haji saya tidak diterima oleh Allah,’’ ia mulai
menumpahkan kegelisahannya. ‘’Kenapa ibu?’’ saya berusaha memberikan perhatian
yang serius untuk mengurangi kegundahannya. Ia pun bercerita bahwa saat
melakukan tawaf kemarin ia sama sekali lupa akan doa tawaf yang selama ini
telah ia hafalkan.
‘’Saya
sudah sangat hafal pak Agus, karena sudah berbulan-bulan telah saya siapkan.
Saya ingin haji saya yang hanya sekali seumur hidup ini tidak sia-sia,’’
tegasnya sambil berlinangan air mata. Keberangkatan hajinya itu diperoleh dari
usaha mengumpulkan uang sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun. Dan
karenanya, ia ingin menjalankan secara sempurna seperti yang ia pelajari dari
buku manasik.
Karena
merasa sudah hafal itu, ia pun tak membawa buku doa yang biasanya disandang
oleh para jamaah haji saat bertawaf. Ia tak memerlukannya, dan berharap bisa
bertawaf dengan penuh kekhusyukan tanpa dibingungkan membuka-buka bukunya. Tapi
celaka, ternyata ia terlupa saat mengamalkannya dalam ibadah. Sesaat setelah
mengucapkan kalimat: bismillahi
Allahu Akbar sambil melambai ke Hajar Aswad, ia pun mulai melangkah
bertawaf. Entah karena sangat gembira, atau terharu disebabkan cita-citanya
pergi ke tanah suci tercapai, tiba-tiba saja ia tidak bisa mengingat doa yang
sudah di hafalnya.
Putaran
pertama dilaluinya dengan pikiran ‘blank’.
Semakin berusaha diingat, doa yang sudah dihafal itu semakin tak bisa
diucapkan. Rasanya sudah seperti di ujung lidah, tetapi tak ada kalimat yang
terucap. Darahnya berdesir karena takut. Tapi, ia sudah telanjur melangkahkan
kaki dalam pusaran tawaf. Sampai menjelang putaran pertama beakhir, ia tetap
tak mampu berkata apa pun kecuali menyebut: Astaghfirullah,
Ya Allaah .. ya Allaah..!
Hingga
sampailah ia di sudut Hajar Aswad lagi, dimana ia harus memulai putaran kedua
dengan mengucapkan: bismillahi
Allahu Akbar. Sang ibu melangkahkan kaki diputaran kedua dengan
penuh harap bisa mengingat doa yang harus diucapkan. Tapi celaka, doa-doa itu
tak ada yang muncul di benaknya. Semakin jauh ia melangkah semakin kacau
pikirannya. Dan lagi-lagi ia hanya bisa beristighfar memohon ampun kepada
Allah: astaghfirullah...
ya Allah.. yaa Allaah...! Keringat dingin kepanikan mulai membasahi
keningnya sampai putaran kedua selesai.
Selanjutnya,
ia semakin kalut. Tawaf di putaran ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh
dilaluinya tanpa ada doa yang bisa diingat dan diucapkannya. Ia pun menangis
tersedu-sedu. Sang ibu benar-benar lupa doanya. Yang diingat dan diucapkannya
kini hanya: Allah,
Allah dan
Allah..! Kegelisahan hatinya pun sedemikian hebat, dan ia tak tahu
harus berbuat apa kecuali pasrah dan berserah diri kepada Allah. Dzat Yang Maha
Pengampun lagi Maha Bijaksana.
Dijalaninya
sisa putaran tawaf itu dengan tubuh gemetar dan derasnya air mata yang tumpah
di wajahnya. Mulutnya terus berkomat-kamit menyebut nama Tuhannya. Perhatiannya
terhadap sekitar menjadi nanar. Dan seluruh kesadarannya hanya terisi oleh
kepasrahan total, serta rasa berdosa atas kebodohannya. Ia berharap Allah
memaafkan segala kekhilafannya...
‘’Apakah
tawaf saya sah Pak Agus? Apakah ibadah haji saya diterima oleh Allah, Pak?,’’
ia bertanya menumpahkan harapan kepada saya. Sambil tersenyum saya pun menatap
matanya yang gelisah dan menjawab pertanyaannya dengan mantap: ‘’Insya Allah
tawaf Anda sah, ibu’’. Saya melihat tebersit sinar kelegaan di matanya yang
lelah. Tapi ia ingin tahu: ‘’kenapa tawaf saya sah? Bukankah saya sama sekali
tidak bisa membaca doa yang mestinya saya baca?’’
Sambil
masih tersenyum saya katakan kepadanya, bahwa selama tawaf itu dilakukannya
dengan memenuhi syarat dan rukunnya, maka secara syariat ia telah menjalaninya
dengan sah. Yaitu, dia melakukan tawaf dengan mengenakan baju ihram. Juga dalam
keadaan berwudhu. Memulai putarannya dari sudut Hajar Aswad dengan berucap bismillahi Allahu Akbar.
Dan mengitarinya sampai tujuh kali putaran. ‘’Insya Allah, tawaf Anda sah,’’
saya ulangi lagi ucapan saya dengan mantap. Ia pun tersenyum lega.
Sedangkan
mengenai doa yang terlupa itu, lanjut saya, sama sekali tidak membatalkan
ibadahnya. Karena dzikir dan doa dalam ritual haji lebih bersifat maknawi
sebagai pengisi substansi. Berbeda dengan shalat yang tidak membaca Al fatihah,
misalnya, akan menjadi batal. ‘’Saya justru melihat ibu sedemikian khusyuknya
saat bertawaf. Sambil terus menyebut-nyebut nama Allah. Jauh lebih khusyuk
dibandingkan dengan orang-orang yang sibuk membuka-buka buku doanya, tetapi
lupa mengingat Tuhannya..!’’
QS.
Al Anbiyaa' (21): 90
''...Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan baik. Dan
mereka berdoa kepada Kami dengan penuh HARAP dan CEMAS. Dan mereka adalah
orang-orang yang KHUSYU' kepada Kami.''
***
Bertawaf
adalah berputar-putar di Baitullah. Substansinya mengisi seluruh kesadaran kita
dengan menyebut-nyebut nama-Nya, dan menjadikan Allah sebagai pusat dari
seluruh aktivitas yang sedang kita jalani. Gerakan tubuh fisikal, kesadaran nafsiyah, dan
potensi ruhiyah
semuanya melebur menjadi satu dalam realitas tunggal: merasakan
kehadiran-Nya..!
Karena
sesungguhnyalah, Dia sudah hadir meliputi semesta. Mulai dari mikrokosmos yang
menyusun tubuh kita maupun seluruh benda di sekitar, sampai pada jagat raya
yang tak ketahuan batasnya. Gerakan abadi di dunia atomik, sub atomik sampai di
tingkat kuantum adalah manifestasi dari kehadiran Allah di alam mikro. Semua
sedang bertasbih kepada-Nya dalam gerak abadi tiada henti. Demikian pula, alam
semesta di skala makrokosmos, tak ada yang tidak bergerak dan bertasbih. Langit
berlapis tujuh dan semua yang ada di dalamnya sedang bergerak dalam pusaran
abadi mengelilingi Arsy Allah Sang Penguasa jagat semesta: melakukan tawaf
abadi, hanya kepada Ilahi Rabbi..!
QS.
Al Israa’ (17): 44
Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya (sedang) bertasbih kepada
Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya. Tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun
lagi Maha Pengampun.
QS.
Az Zumar (39): 75
Dan
kamu akan melihat para malaikat bergerak berkeliling di seputar 'Arsy (Allah).
(Mereka) bertasbih sambil memuji Tuhannya. Dan diberi putusan diantara
hamba-hamba Allah dengan adil serta diucapkan: "Segala puji bagi Allah,
Tuhan semesta alam."
HAKIKAT IBADAH HAJI
~
MENJADI HAJI TANPA BERHAJI ~
Di
tulisan terakhir ini saya ingin merefleksikan seluruh uraian tentang hikmah
haji di tanah suci itu ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahwa ritual haji
itu sebenarnyalah menjadi pedoman perilaku kita dalam mendekatkan diri kepada
Allah, dimana pun kita berada. Bukan hanya saat di tanah suci. Kita bisa
‘menjadi haji’ meskipun belum pernah pergi haji, tentu saja secara substansi.
Karena kewajiban berhaji tetap melekat kepada siapa saja yang mampu pergi ke
tanah suci.
Proses
mendekatkan diri kepada Allah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim.
Dan Allah dengan sangat jelas memerintahkan kepada kita untuk mencari jalan
mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan, ‘melarang’ untuk ‘kedahuluan mati’ kecuali
sudah dalam keadaan berserah diri kepada-Nya.
QS.
Al Maa-idah (5): 35
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan CARILAH jalan yang
MENDEKATKAN DIRI kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat
kesuksesan.
QS.
Ali Imran (3): 102
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan JANGANLAH sekali-kali kamu MATI melainkan dalam keadaan
BERSERAH DIRI ( kepada Allah).
Bagaimanakah
caranya mencari jalan untuk berserah diri kepada Allah itu? Jawabnya adalah
menerapkan ritual haji dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari Wukuf,
Lempar Jamrah, Tawaf, sampai Sa’i. Bukan dalam arti ritual fisik seperti saat
di tanah suci. Melainkan secara substansi. Karena, sebenarnyalah situs-situs
yang ada di tanah suci itu adalah simbol-simbol yang harus kita pahami secara
substansial, dan kita jabarkan secara spiritual.
Wuquf dalam bahasa Arab berasal dari
kata waqafa
yang bermakna ‘berhenti,
berdiri, bimbang & ragu-ragu, memahami, dan mengerti’. Sehingga
makna kata wuquf
itu memang merupakan perpaduan antara proses kebimbangan, keraguan, sampai
benar-benar memperoleh kepahaman secara substansial terhadap suatu masalah. Dan
semua itu akan sangat baik jika dilakukan dengan berhenti dari aktifitas
sejenak agar bisa menjadi lebih fokus.
Yang
demikian ini, bisa kita lakukan dimana saja. Bukan hanya saat di Arafah.
Meskipun, saat berada di Arafah, mestinya seorang jamaah haji bisa melakukan
dengan lebih baik disebabkan oleh atmosfer ibadah dan kesejarahan yang
meliputinya. Tetapi, kita juga bisa melakukan wukuf itu di rumah, di tempat
kerja, di dalam kendaraan, bahkan di tempat wisata. Substansinya adalah fokus
melakukan perenungan sampai memperoleh keputusan yang strategis.
Kenapa
wukuf ini menjadi penting? Karena, ternyata banyak diantara kita yang
seringkali membuat keputusan secara tergesa-gesa, tanpa memahami masalahnya
dengan baik. Ini adalah tipikal orang yang tidak sabaran. Sebuah akhlak yang
sangat tidak dianjurkan oleh Islam, karena akan berujung pada penyesalan di
belakang hari. Allah memberikan stressing
dan motivasi yang sangat kuat kepada siapa saja yang bisa bersabar dalam
menyikapi masalah: innallaaha
ma’ash shaabiriin – Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
Keputusan
yang diperoleh dengan cara wukuf Insya Allah akan jauh lebih baik dibandingkan
dengan yang tergesa-gesa. Karena di dalam wukuf itulah kita diajari untuk
membuka pikiran dan hati seluas-luasnya dalam menerima petunjuk Allah.
Mengintensifkan dzikir untuk membuka hijab yang menutupi jiwa, sehingga menjadi
lebih jernih dalam memahami masalah. Mulai dari soal rumah tangga, rezeki,
keilmuan, sosial kemasyarakatan, sampai masalah negara dan keumatan.
Namun
demikian, tak jarang hasil wukuf memperoleh hambatan saat diimplementasikan.
Terutama jika kepentingan egoistik terlalu dominan. Disinilah setan menunggangi
ego kita untuk menggagalkan petunjuk yang kita peroleh saat wukuf. Kejernihan
spiritual yang sudah terbentuk bisa menjadi kabur kembali, jika kita menuruti
ego pribadi.
Inilah
saatnya kita menerapkan filosofi Lempar Jamrah. Yakni, mengusir sifat-sifat
setaniyah yang menjurus kepada kepentingan sempit dan egois. Yang benar adalah,
harus bersifat sosial sekaligus spiritual. Seperti substansi ritual berkorban
itu. Jika kita egoistik, yang sosial dan spiritual akan terlewatkan. Tetapi
jika kita menjalaninya dengan landasan sosial-spiritual, maka kepentingan yang
bersifat egoistik akan terpenuhi dengan sendirinya. Hasilnya akan lebih holistik.
Setan
bukan hanya terdapat di tanah suci. Apalagi berupa tugu-tugu jamarat bikinan
pemerintah Arab Saudi. Semua itu hanya simbol. Setan yang sesungguhnya telah
berada di dalam diri kita sendiri. Maka, kita harus memahami substansi, dan
bukan terjebak kepada sekedar tradisi yang tanpa isi. Filosofi lempar jamrah
itulah yang mesti kita terapkan dalam realitas. Agar kita termasuk orang-orang
yang berada di jalan lurus yang diridhai-Nya.
Berikutnya,
Allah mengajari kita untuk selalu bertawaf di Arsy-Nya. Mengingat-Nya dalam
segala kondisi, dalam segala peristiwa. Siapa saja mengingat Allah, maka Dia
akan mengingatnya pula. Dia akan selalu bersama dengan orang-orang yang ingat
kepada-Nya, yakni orang-orang yang pandai bersyukur dan bersabar dalam segala aktivitasnya.
QS.
Al Baqarah (2): 152-153
Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu. Dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku. Hai orang-orang yang beriman,
minta tolonglah (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.
Dan
penutup dari semua rangkaian substansi haji itu adalah Sa’i. Yakni, perintah
Allah agar umat Islam pantang putus asa dalam menjalani hidupnya. Jangankan
kita, para Nabi dan sahabatnya pun semua mengalami ujian, sampai mereka
benar-benar berserah diri hanya kepada Allah, sebagai bukti yang tak
terbantahkan bahwa mereka memang pantas memperoleh kesuksesan sejati di dunia
maupun di akhirat nanti.
QS.
Al Baqarah (2): 214
Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa
oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam
cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya:
‘’Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat (yaitu bagi orang-orang yang berserah diri
hanya kepada-Nya).
Maka,
seseorang yang bisa mengaplikasikan pelajaran haji di dalam hidupnya, ia tidak
akan pernah terombang-ambing dalam ketidakpastian. Kualitas berserah dirinya
luar biasa kukuhnya. Allah selalu hadir dalam seluruh kesadarannya, mendampingi
mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Niatnya penuh keikhlasan,
perbuatannya selalu berbingkai ketaatan, perjuangannya berhias kesabaran, dan
hidupnya penuh pengorbanan untuk kebajikan. Ia benar-benar telah menjadi
seorang muslim yang paripurna: berserah diri hanya kepada Allah, Sang Maha
Pemurah lagi Maha Bijaksana..
QS.
Az Zukhruf (43): 68
Wahai
hamba-hamba-Ku, tidak ada lagi kekhawatiran terhadapmu pada hari ini. Dan tidak
pula kamu bersedih hati. (Yaitu bagi) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat
Kami dan orang-orang yang berserah diri.
Wallahu
a’lam bishshawab.
HAKIKAT KEHIDUPAN
substansi
kehidupan.
Misteri
besar lainnya yang menyelimuti kehidupan manusia adalah tentang munculnya
makhluk hidup di planet Bumi. Sebuah drama kolosal yang sangat menakjubkan,
sehingga muncullah berbagai kisah hidup yang mengharu biru jiwa kita. Termasuk
munculnya pro-kontra dalam menyikapi kehidupan itu sendiri.
Orang-orang
atheis menyebutnya sebagai peristiwa yang terjadi dengan sendirinya lewat
seleksi alam secara evolutif. Sedangkan orang-orang beragama menyebutnya
sebagai hasil ciptaan Tuhan. Yang satu menyebutnya by natural selection, yang lain
menyebutnya sebagai by
design. Pemikiran orang atheis diwakili oleh Richard Dawkins,
sedangkan ‘pemikiran’ orang beragama masih berbeda-beda antara satu agama
dengan agama lainnya, yang kemudian menjadikan perdebatan antara kedua kelompok
theis-atheis ini menjadi bias.
Diantaranya,
karena Dawkins tak bisa menghindar dari penyamarataan konsep by design itu,
dengan mengambil mainstream
penciptaan ala konsep Kristen, yang tentu saja berbeda dengan konsep Islam.
Meskipun, dia sudah memberikan kata pengantar bahwa tuhan dalam berbagai agama
adalah berbeda-beda. Karena itu, ketika pemikiran evolusi ala atheis itu
disandingkan dengan konsep penciptaan dalam Islam, kita harus mendefinisikan
kembali secara lebih khusus agar tidak memunculkan bias.
Secara
garis besar, Dawkins menggunakan pendapat umum dalam teori evolusi Darwinian
yang telah disesuaikan dengan perkembangan teori genetika. Bahwa makhluk hidup
di planet Bumi ini terbentuk secara bertahap alias evolutif lewat mekanisme
seleksi alam. Siapa yang bisa bertahan dari kondisi ekstrim, maka merekalah
yang akan bisa tetap eksis di alam, hingga kini.
Tidak
ada campur tangan dari ‘pihak lain’ dalam proses ini, karena campur tangan
hanya akan menjadikan proses evolusi menjadi semakin kompleks, dan sulit
dijelaskan secara ilmiah. Diantaranya ia memberikan argumentasi, jika makhluk
hidup diciptakan oleh Tuhan maka semestinya semua peristiwa berjalan dengan
sempurna. Tidak ada yang terlahir cacat. Jika masih ada yang terlahir cacat,
berarti Sang Desainer tidak Maha Sempurna. Bahkan tidak adil terhadap
makhluk-Nya. Pada kenyataannya, beragam makhluk hidup di muka Bumi memiliki
berbagai kondisi yang tak sempurna. Sehingga lebih cocok, semua realitas ini
terbentuk secara natural lewat seleksi alam saja.
Tuhan
tidak perlu ada dan terlibat di dalamnya. Meskipun, Dawkins tidak berani
meniadakan sama sekali tentang kemungkinan adanya Tuhan. Sehingga di dalam
bukunya The God
Delusion, bab 4, ia hanya berani mengatakan ‘Hampir Pasti Tidak Ada
Tuhan’, sambil menyodorkan konsep munculnya kehidupan itu sebagai akibat dari
proses seleksi alam murni.
Mirip
dengan yang dikemukakan oleh Hawking dalam The
Grand Design, Dawkins berusaha ‘menghindari kesulitan’ dalam
menetapkan asumsi awal, agar konsep seleksi alamnya cocok dengan yang
diharapkan. Menurutnya, keterlibatan Tuhan dalam seleksi alam hanya akan
menimbulkan kompleksitas, maka dia pun menetapkan asumsi: sebaiknya tidak usah
ada Tuhan saja dalam proses kemunculan makhluk hidup ini.
Itulah
sebabnya, dia lantas berkesimpulan bahwa teori alam semesta tanpa Tuhan adalah
lebih baik dibandingkan dengan teori penciptaan yang melibatkan Tuhan.
Alasannya, manusia lebih suka yang sederhana daripada yang kompleks. Yang
disebutnya sebagai metode ‘Pisau Cukur Ockham’.
Tentu
saja, alasan semacam ini seharusnya tidak dijadikan dasar atau pijakan membuat
kesimpulan yang pasti dalam menyikapi seleksi alam. Masa, hanya karena kita
lebih suka yang sederhana dan menjauhi yang kompleks, lantas mengorbankan
kebenaran realitas. Atau, setidak-tidaknya menghalangi upaya untuk menemukan
kebenaran lebih tinggi.
Ini
sangat berbeda dengan Kazuo Murakami, yang merupakan peneliti andal tanpa
pretensi terselubung. Seorang peneliti sejati tidak akan memiliki mental
seperti itu dalam menyikapi realitas. Kazuo Murakami tidak pernah menolak kompleksitas
realitas yang dihadapinya. Bahkan malah menikmatinya. Karena dia berhadapan
dengan fakta dan realitas yang memang demikian adanya. Dan itulah yang lantas
membuatnya merasa kecil dan minder
di hadapan alam semesta yang demikian dahsyat dengan segala kompleksitasnya.
Bisa
kita bayangkan, jika para peneliti memiliki mental menghindari kompleksitas
seperti yang dikemukakan oleh Dawkins, pemetaan genom di dalam genetika manusia
mungkin tidak akan terjadi. Ada sekitar 3-4 miliar kode-kode genetika yang
ditemukan di dalam inti sel tubuh manusia, yang semuanya membentuk komposisi
sangat rumit dalam mengendalikan kehidupan, dan belum sepenuhnya dipahami
mekanismenya.
Justru,
kompleksitas itulah yang membuat jiwa Murakami bergetar, merasakan hadirnya Dzat
yang Maha Agung di balik rumitnya realitas. Sehingga, menurutnya, tidak bisa
tidak, mesti ada ‘Kecerdasan Super’ melampaui kecerdasan manusia mana pun, yang
mengendalikan dan merancang alam semesta. Khususnya kode-kode genetika di dalam
makhluk hidup, yang menjadi penyebab munculnya drama kehidupan yang jauh lebih
kompleks lagi.
Di
dalam buku The Selfish
Gene, Dawkins juga berpendapat bahwa gen adalah kode-kode yang
tidak bisa berubah. Yang bisa berubah itu adalah komposisi pasangannya,
sehingga membentuk kromosom yang berbeda, dan lantas menghasilkan individu yang
berbeda-beda pula. Gen bakal ada selamanya.
Berikut
ini adalah ungkapan Dawkins dalam buku tersebut, yang berasumsi bahwa gen
adalah satuan terkecil kehidupan yang tak bisa berubah:
“Individuals
are not stable things, they are fleeting. Chromosomes too are shuffled to
oblivion, like hands of cards soon after they are dealt. But the cards
themselves survive the shuffling. The cards are the genes. The genes are not
destroyed by crossing-over; they merely change partners and march on. Of course
they march on. That is their business. They are the replicators and we are
their survival machines. When we have served our purpose we are cast aside. But
genes are denizens of geological time: genes are forever.”
‘’Individu-individu
bukanlah sesuatu yang stabil, mereka terus berubah. Kromosom juga diacak sampai
tak bisa diingat lagi, ibarat sekumpulan kartu yang telah dibagi-bagikan. Namun
kartu-kartu itu sendiri tidak berubah oleh pengacakan. Kartu-kartu tersebut
adalah gen. Gen tidak hancur melalui penyilangan. Gen hanya mengubah
pasangannya dan akan terus ada. Tentu saja gen akan terus ada. Karena, itulah
tugas mereka. Gen adalah replikator dan kita adalah mesin pertahanan hidupnya.
Ketika kita telah menunaikan tugas, kita dikesampingkan. Namun gen merupakan
penghuni waktu geologis: gen akan ada selamanya’’
Berbagai
penelitian mutakhir menunjukkan, bahwa gen sebenarnya bukanlah makhluk hidup.
Ia hanya bagian saja di dalam sistem sel sebagai unit terkecil kehidupan. Gen
tak lebih hanya kumpulan molekul-molekul mati, yang tersusun secara khas,
sehingga membentuk informasi. Cuma, anehnya, kumpulan ‘benda mati’ itu bisa
memunculkan informasi yang justru memunculkan kehidupan sel. Sel bisa hidup
karena diperintah oleh genetika dari dalam inti sel itu, sehingga muncul
proses-proses biokimiawi dan kelistrikan yang menyebabkan sel bisa hidup
berkelanjutan. Inti sel adalah pusat pemerintahan genetik di dalam bagian
terkecil tubuh manusia itu.
Ibarat
sebuah buku cerita, di dalam inti sel kita ada pesan-pesan pembentuk kehidupan,
baik yang bersifat anatomis maupun perilaku. Buku cerita itu disebut GENOM.
Isinya ada 23 bab, yang disebut sebagai KROMOSOM. Di dalam kromoson itu ada
ribuan cerita, yang disebut sebagai GEN.
Di
dalam gen ada paragraf-paragraf yang disebut EKSON, dengan diselingi
cerita-cerita tak terkait yang disebut sebagai intron. Paragraf tersebut
tersusun dari kata-kata yang disebut sebagai KODON. Dan kata-kata itu tersusun
dari huruf-huruf yang disebut BASA.
Nah,
huruf-huruf yang disebut Basa itu berbentuk molekul-molekul kimiawi yang mati,
dari senyawa Adenin (A), Guanin (G), Cytosin (C), dan Timin (T). Komposisi
empat huruf A-C-G-T itulah yang akan memunculkan kode-kode berupa kata (Kodon),
menjadi paragraf (ekson), menjadi gen, membentuk kromosom, dan akhirnya
membentuk 'buku cerita' kehidupan bernama Genom. Jika A-C-G-T mengalami
masalah, maka kode-kode itu tentu akan bermasalah juga. Dan mengganggu proses
kehidupan sel.
Akan
terjadi penyimpangan pembentukan Kodon, yang mempengaruhi Ekson, dan lantas
menghasilkan penyimpangan genetika. Jadi genetika bukanlah unit terkecil
kehidupan. Karena unit terkecil itu sebenarnya berada pada level sel yang bisa
melakukan aktivitas sebagai makhluk hidup. Sedangkan inti sel dengan
genetikanya adalah sekumpulan ‘benda mati’ belaka, tetapi berisi sistem
informasi yang sangat canggih sehingga mampu mengendalikan jalannya kehidupan
sel.
Tentu
saja ini sangat aneh. Karena, molekul-molekul itu tidak memiliki kehendak dan
tidak punya tujuan. Sehingga, proses yang terjadi di dalamnya tak beraturan
alias acak. Tapi kondisi acak itu tenyata bisa menghasilkan cerita lebih
kompleks ‘dari bab ke bab’ dalam bentuk kromosom yang sangat unik, dan kemudian
memunculkan ‘buku genom’ yang sangat khas pada setiap spesies. Sebuah ‘buku
cerita’ yang merangkum seluruh karakter sesosok makhluk hidup, baik karakter
fisik maupun perilakunya.
Disinilah
saya memberikan kritik atas kesimpulan Dawkins bahwa kehidupan bisa muncul dengan
sendirinya, tanpa ada campur tangan sesuatu di luar sel. Ada missing link yang
tidak bisa dijelaskan, saat peralihan dari molekul-molekul yang ‘benda mati’
itu menjadi unit terkecil kehidupan yang disebut sel.
Dawkins
tidak ingin memperoleh kesulitan atau kerumitan di level yang lebih kecil dari
genetika. Sehingga meletakkan asumsinya disini. Bahwa genetika adalah sesuatu
yang abadi, dan tak berubah. Karena yang berubah itu cuma level-level setelah
gen yang disebut sebagai kromosom dan individu-individu.
Dia
mengansumsikan gen sebagai unit terkecil kehidupan yang tidak perlu
dipermasalahkan lagi. Atau, digali lagi. Padahal, kalau kita gali lagi,
masalahnya akan menjadi rumit dan kompleks, sebagaimana dihadapi oleh Kazuo
Murakami.
Kok
bisa-bisanya, molekul-molekul yang benda mati itu berkehendak dan mengeluarkan
perintah yang sedemikian sistematis dan terstruktur, untuk mempertahankan
kehidupan sel. Dia mesti melakukan proses metabolisme, mesti menyediakan energi
kelistrikan agar proses biokimiawi itu terjadi, mesti menyaring bahan-bahan
baku dari luar sel yang tidak bersifat meracuni sel, dan sebagainya. Dan
kemudian, sel-sel itu bisa mereplikasi dirinya, sehingga berkembang biak
bertambah banyak.
Dan
bukan main, jumlah kode-kode genetika di dalam genom kita itu lebih dari 3
miliar, yang berkolaborasi membentuk sistem informasi yang sangat canggih. Yang
menyebabkan seluruh proses biokimiawi dalam makhluk hidup bisa berjalan secara
berkesinambungan. Sehingga ada dinamika kromosom dan individu-individu yang
terlihat seperti mengalami seleksi alam.
Padahal,
kuncinya bukan pada faktor eksternal makhluk hidup itu, melainkan berada pada
sistem genetika, di internal makhluk hidup itu sendiri. Sehebat apa pun seleksi
alam yang muncul di eksternal, jika sistem genetika di internalnya tidak
memiliki sistem informasi yang cerdas, sel itu tidak akan bisa bertahan hidup.
Ada sustainable
mechanism yang luar biasa canggih di dalamnya.
Dawkins
tidak mau ‘ribet’
memasuki area ini, karena dia bakal bertemu ‘Kecerdasan Super’ yang sangat
menakjubkan, tetapi menyulitkannya. Karena ia lantas tidak bisa berkesimpulan
bahwa ‘makhluk hidup muncul dengan sendirinya tanpa ada campur tangan Tuhan’.
Ya,
dia telah memutuskan untuk berhenti saja pada skala gen yang sudah dianggapnya
memiliki ‘kecerdasan bawaan’ dari sono-nya.
Sudah given,
dan bawaan alam. Oke, boleh saja. Itu adalah sebuah pilihan, agar kesimpulannya
sesuai dengan yang diprediksikannya.
Tetapi,
tentu saja tidak fair
kalau kesimpulan semacam ini lantas digeneralisasikan sebagai ‘kebenaran’ dan
‘fakta ilmiah’ bahwa makhluk hidup memang bisa memunculkan dirinya sendiri. Dan
kemudian menganggap semua yang berbeda dari kesimpulannya sebagai tidak ilmiah.
Karena sesungguhnya dia telah berlaku unfair
dengan meletakkan asumsi yang bersifat ‘pesanan’ itu dalam skala genetika, demi
menghindari ‘Kompleksitas’ yang berada diluar jangkauan kemampuannya. Padahal
di kompleksitas itulah sebenarnya ia berpotensi untuk ‘bertemu’ dengan Allah,
Tuhan Sang Maha Pencipta lagi Maha Berilmu..!
QS.
Al An'aam (6): 95
Sesungguhnya
Allah-lah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup. (Yang) demikian itu adalah Allah. Maka mengapa kamu masih berpaling (tak
mengakui-Nya)?
~
wallahu a'lam bishshawab ~
Langganan:
Postingan (Atom)